Kamis, 19 Mei 2011

Antara akdir dan Kebebasan.

Qadha dan Qadar adalah ketentuan Allah swt yang bersifat azali. Ketentuan itu merupakan hak prerogratif Allah sebagai Dzat Pencipta. Dia menentukan ketentuan yang baik atau yang buruk untuk setiap makhluk yang diciptakan-Nya jauh sebelum mereka diciptakan. Dan Islam memasukkan percaya kepada ketentuan Allah ini sebagai rukun iman yang harus diimani oleh setiap umat Islam.
Para ulama salaf shalih yang tergolong pada generasi awal, berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yang mendalam telah menyatakan, bahwa iman kepada Qadha dan Qadar, sama sekali tidak menghambat pekerjaan dan usaha manusia, juga tidak menghalangi kemajuan-kemajuan. Kepercayaan kepada Qadha dan Qadar tidak berarti bersikap fatalisme, rela menerima kehidupan yang rendah dan hina, enggan berusaha, tetapi kepercayaan itu justru harus menggerakkan manusia muslim agar bekerja bersungguh-sungguh, kreatif dan ikhlas, tanpa pamrih, tanpa harus memaki zaman, membenci kehidupan atau berputus asa. Jika takdir disini kita artikan sebagai ketetapan Allah yg tidak mungkin dapat berubah atau pasti terjadi pada tiap makhluknya, maka tentunya hal ini tidak sesuai dengan konsep keadilan Allah bagi tiap makhluknya. Bukankah tidak adil jika seseorang dimasukkan ke dalam neraka karena perbuatannya ,karena perbuatan yang bukan atas kehendak dirinya sendiri.

Keyakinan kepada Qadha dan Qadar, apabila pemahamannya lurus dan benar, sesuai dengan yang dipahami ulama salaf dan mengacu pada pemahaman Jamaluddin al Afghani, bahwa Sunnatullah (hukum alam) tidak akan menghambat kemajuan, merintangi kebebasan atau menimbulkan kelesuan dalam menjangkau cita-cita yang luhur.

Dikisahkan dari sahabat Abdullah Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Umar bin Khattab dan rombongannya, suatu saat berangkat ke negeri Syam (daerah Syiria sekarang). Waktu akan memasuki wilayah itu, para pembesar negeri Syam melaporkan kepada Umar, bahwa daerah itu sedang berjangkit wabah penyakit menular. Umar Ibn Khattab kemudian bermusyawarah dengan para sahabat Muhajirin dan Ansar untuk mencari way out yang baik dari masalah itu. Umar dan rombongan sepakat untuk kembali ke Madinah, tidak memasuki daerah yang berbahaya itu. Tiba-tiba Abu Ubaidah bin Jarrah, salah seorang anggota rombongan tampil dan melontarkan satu pertanyaan kepada Umar:

أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ ؟

Artinya    : “Apakah kita hendak lari menghindari takdir Allah?”

Umar menjawab:

نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ

Artinya    : “Benar, kita menghindari suatu takdir Allah dan menuju takdir Allah yang lain”.

Untuk meyakinkan sahabatnya, Umar memberikan contoh yang sangat tepat. Kata Umar:

أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصِبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصِبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ

Artinya    : “Sekiranya engkau sedang menggembalakan ternakmu, unta atau kambing, kamu dapati ada dua lembah, yang keduanya merupakan takdir Allah. Lembah pertama merupakan padang rumput yang hijau dan subur, sedang lembah kedua merupakan bukit-bukit berbatu yang gersang, tidak ada rumput atau tumbuhan lain. Apakah kamu akan membawa ternakmu ke lembah yang gersang itu? Tentu tidak, tetapi akan membawanya ke lembah yang pertama yang subur itu. Bila anda pergi ke lembah yang subur itu berarti anda mengikuti takdir Allah, demikian pula bila anda menuju lembah yang gersang itu”.

Kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf, seraya berkata: “Dalam masalah ini, aku mendapat sebuah pengetahuan, suatu kali aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

Artinya    : “Apabila kamu mendengar di daerah ada wabah, maka janganlah mendekatinya. Dan jika ada wabah sedangkan kamu lagi berada di daerah itu, maka janganlah kalian keluar dari daerah itu untuk menghindarinya.”

Mendengar penuturan Abdurrahman tersebut, Umar memuji syukur kepada Allah lalu pergi. (HR. Bukhari: No.5288 dan Muslim: No.4114)

Berdasarkan riwayat di atas, dengan mudah dapat difahami bahwa kepercayaan pada takdir Allah, tidak berarti menafikan kebebasan manusia, juga tidak merupakan paksaan atau tekanan. Karena Qadha dan Qadar itu ada dalam ilmu Allah SWT yang Qadim dan Azali. Setiap diri manusia tidak ada yang mengetahui, apa yang akan dikerjakannya atau yang ditinggalkannya pada masa yang akan datang secara hakiki.

Yang jelas, dalam pandangan ajaran Islam, manusia diberikan oleh Allah kebebasan untuk berbuat, kebebasan memilih, free will atau free act ,tetapi kebebasan yang Allah SWT. berikan harus sesuai dengan batas- batas yang telah ditentukannya.Sehingga dengan kata lain batas-  batas yg Allah SWT. tetapkan itulah yang dinamakan sebagai takdir. Untuk menentukan sendiri pekerjaan dan pilihannya. Mereka yang berbuat baik, akan memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat, dan sebaliknya mereka yang berbuat keburukan dan kejahatan akan memperoleh kehinaan di dunia dan akhirat.

Artinya    : “Bila kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu pula....”. (QS. Al Isra’ [17]: 7).

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskan ajaran yang senada dengan uraian yang disebutkan di atas, di antaranya:

Artinya    : “.....Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (QS. al-Thur [52]: 21).

Artinya    : “Siapa yang mengerjakan amal kebajikan maka balasannya untuk dirinya sendiri dan siapa yang berbuat jahat, maka kejahatan itu akan menimpa dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya”. (Q.S. Fushshilat [41]: 46).

Artinya    : “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar”. (QS. Al Syura, 42:30).

Ayat-ayat lain yang senada dengan itu adalah QS. Yunus [10]: 38, QS. Al An’am [6]: 164, QS. Al Zumar [39]: 70, QS Al Zilzalah [99]: 7-8, dan sebagainya.
    
Kesimpulan
  1. Takdir dan kebebasan yang meliputi diri manusia merupakan ketetapan Allah s.w.t. karena itu setiap diri manusia harus beriman pada takdir-Nya, dan harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjalani dan mengusahakan kehidupannya yang layak.
  2. Keyakinan terhadap takdir Allah s.w.t. tidak akan mempengaruhi semangat berusaha dan bekerja bagi setiap orang muslim untuk meraih kesuksesan di dunia dan ahkirat.
  3. Setiap manusia mukmin harus menerima dengan tulus segala takdir dan ketetapan Allah yang diberikan kepadanya, dengan demikian ia akan mencapai kesempurnaan dan ketenangan dalam hidup dan kehidupannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar